Sebagai organisasi besar yang memiliki struktur dari tingkat pusat sampai dengan ranting di kampung-kampung, Muhammadiyah perlu memiliki sarana penyebar informasi agar misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar dapat mencapai sasaran secara efektif. Sarana berbasis teknologi telekomunikasi seperti TV dan radio broadcasting telah terbukti dapat menjadi media yang efektif untuk menyampaikan informasi. Usaha-usaha untuk memiliki sarana tersebut telah pernah digagas oleh Muhammadiyah dari keinginan untuk mendirikan TV Muhammadiyah dengan skala nasional maupun regional sampai dengan keinginan untuk memiliki stasiun-stasiun radio Muhammadiyah di setiap daerah. Namun setiap gagasan-gagasan itu akan diimplementasikan selalu menghadapi kendala yang mencakup perizinan dan pendanaan. Sulit dan ruwetnya proses untuk memperoleh alokasi frekuensi siaran merupakan salah satu kendala proses perizinan yang dihadapi. Sedangkan dari sisi pendanaan kendala muncul dari dua sumber pokok yakni infrastruktur dan investasi peralatan yang sangat mahal karena harus memenuhi standar penyiaran profesional.
Munculnya regulasi baru dalam penataan media siaran di Indonesia telah memberi peluang yang sangat besar bagi Muhammadiyah untuk dapat mendirikan stasiun radio siaran. Dengan menyelenggarakan siaran berbasis komunitas di tingkat daerah, cabang atau ranting, Muhammadiyah dapat mendirikan stasiun radio siaran dengan pengurusan izin yang mudah dan biaya murah. Pada Desember 2002, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) telah mengesahkan Undang Undang no 32 tahun 2002, dan pada tahun 2005 pemerintah mengeluarkan ketentuan tentang penyelenggaraan radio siaran berbasis komunitas melalui PP no 51 Tahun 2005. dalam undang-undang maupun PP tersebut telah memberikan pengakuan terhadap lembaga penyiaran berbasis komunitas, dan telah memberikan alokasi frekuensi di gelombang 107,7;107,8 dan 107,9 FM bagi stasiun radio komunitas. Melalui produk-produk hukum tersebut siaran radio komunitas juga diatur agar memiliki daya Effective Radiated Power (ERP) 50 Watt, tinggi antena 20 meter dari permukaan tanah, serta radius pancaran maksimum 2,5 km.
Dari ketentuan-ketentuan itu, terlihat bahwa proses memperoleh alokasi frekuensi radio siaran berbasis komunitas menjadi lebih sederhana dan mudah. Selain itu, spesifikasi stasiun radio komunitas yang diatur dalam peraturan-peraturan itu telah berimplikasi pada murahnya investasi peralatan yang perlu dibangun. Memperhatikan situasi tersebut, Muhammadiyah perlu mengambil peluang dengan segera mendirikan radio-radio siaran berbasis komunitas pada berbagai ranting dan cabang yang ada.
Muhammadiyah perlu menyambut regulasi ini dengan segera mendorong pengurus dari level pusat, wilayah, daerah, cabang sampai dengan ranting untuk segera membangun stasiun radio komunitas.